Menyoal OTT
Dalam survei yang melibatkan 502 responden di 34 provinsi itu, mayoritas atau 62,6 persen publik tak percaya KPK dipimpin orang bersih seusai terungkapnya kasus eks komisioner Lili Pintauli Siregar. Namun, masyarakat menganggap KPK masih memiliki kelebihan, yakni OTT.
OPERASI tangkap tangan (OTT) sedang diperdebatkan. Senjata ampuh milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memerangi korupsi itu tak hanya dicintai, tetapi juga dibenci.
Publik pada umumnya senang dengan OTT KPK. Saban kali KPK menangkap basah pejabat korup, rakyat bersukacita. Bahwa masyarakat menyukai OTT KPK juga tergambar dari hasil sigi Litbang Kompas pada kurun 19-21 Juli 2022.
Dalam survei yang melibatkan 502 responden di 34 provinsi itu, mayoritas atau 62,6 persen publik tak percaya KPK dipimpin orang bersih seusai terungkapnya kasus eks komisioner Lili Pintauli Siregar. Namun, masyarakat menganggap KPK masih memiliki kelebihan, yakni OTT.
Sebanyak 33,7 persen responden menyebut kata itu, 24,2 persen menjawab integritas, 7 persen bilang independensi. Adapun 10,1 persen mengatakan tak ada lagi kelebihan KPK dan 23,4 persen mengaku tidak tahu. Jadi, OTT yang telah menelikung banyak petinggi, baik dari jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, memang masih disenangi publik.
Namun, postulat menyebutkan cinta dan benci tidak bisa dihindari dan kamu tidak dapat merasakan yang satu tanpa yang lain. Begitu juga OTT. Sangat banyak yang mencintai OTT, tapi tak sedikit yang membenci. Koruptor dan calon koruptor sudah pasti benci setengah mati pada OTT. Yang bukan koruptor pun ada yang berperasaan sama atau paling tidak tak menyukainya.
Dulu, Fachri Hamzah mengritik habis OTT KPK. Fachri ialah mantan Ketua DPR. Dia pernah berujar bahwa KPK frustrasi karena terus-menerus melakukan OTT. OTT, kata dia, menunjukkan KPK telah gagal. Jika berhasil, ucapnya, KPK pasti sulit mencari orang yang korupsi.
Fachri juga pernah menyebut OTT KPK ilegal karena tidak ada payung hukumnya. Pendapat itu disanggah eks Ketua Mahkamah Konstitusi yang sekarang Menko Polhukam, Mahfud MD. Perang cuitan antara keduanya berlangsung sengit di media sosial.
Kini, ada lagi elite yang menyoal OTT KPK. Dia merupakan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, Selasa (20/12), Luhut mengatakan OTT berdampak buruk pada citra negara. "Kita enggak usah bicara tinggi-tinggilah, OTT-OTT itu, kan, enggak bagus sebenarnya buat negeri ini, jelek banget," ucapnya.
Dia meminta KPK tak gampangan melakukan OTT. Menurutnya, jika digitalisasi sistem pemerintahan sudah berhasil, tidak akan ada yang berani korupsi. "Jadi, KPK pun jangan pula sedikit-sedikit tangkap, tangkap, itu. Ya lihat-lihatlah, tetapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, menurut saya, enggak akan bisa main-main.''
Pernyataan dari pejabat sekelas Luhut itu sarat kontroversi. Banyak yang menyayangkan, mengkritik, mengecam. Ada yang menyebut logika terbalik-balik. Ada yang menganggap permintaan Luhut agar KPK tak terlampau sering melakukan OTT berbahaya. Ada juga yang mempertanyakan jangan-jangan pemberantasan korupsi dianggap tidak penting lagi.
Bisa jadi Pak Luhut sebenarnya ingin menekankan bahwa pencegahan lebih penting ketimbang OTT. Dia hendak menyakinkan bahwa sistem digitalisasi tak lagi bisa ditawar untuk menutup celah korupsi.
Digitalisasi memang barang bagus. Namun, menyebut OTT tidak bagus hanya memperburuk wajah negara ialah sikap yang tak bagus. Meminta KPK agar tidak terlalu sering OTT apalagi, sangat tidak bagus.
Membandingkan OTT dengan digitalisasi kiranya juga tak relevan, beda keranjang. OTT masuk klaster penindakan, digitalisasi bagian rumpun pencegahan. Keduanya sama-sama penting, tak boleh menegasikan satu sama lain. Idealnya pencegahan digas pol, OTT pantang injak rem. Keduanya perlu dikebut untuk memberangus pejabat korup.
Boleh-boleh saja opung Luhut punya perhatian pada upaya bersih-bersih negeri ini dari kerak korupsi. Akan tetapi, akan lebih bagus kiranya jika perhatian itu tercurah pada masalah yang jelas-jelas menghambat upaya pemberantasan rasuah.
Kenapa harus menyoal OTT yang hasilnya nyata meski belum sempurna? Kenapa tidak menyoal masih sangat rendahnya tuntutan jaksa dalam kasus korupsi? Sekadar gambaran, ICW unjuk data bahwa sepanjang 2021 rata-rata terdakwa korupsi hanya dituntut empat tahun lima bulan penjara.
Kenapa mesti menyoal OTT? Kenapa tidak menyoal vonis hakim dalam kasus korupsi yang masing enteng-enteng saja? Untuk direnungkan, sepanjang 2021, rata-rata hukuman terdakwa korupsi cuma tiga tahun lima bulan.
Kenapa tak gencar menyoal ketika obral diskon hukuman buat koruptor seperti tak berkesudahan di MA? Apakah karena semua itu ranah hukum yang tak boleh diintervensi? Kalau iya, bukankah OTT juga bagian dari penegakan hukum yang haram dicampuri?
Atau yang masih hangat, kenapa tidak mempermasalahkan pasal-pasal tipikor di KUHP baru buatan pemerintah dan DPR yang hukumannya ringan nian? Ambil contoh pada Pasal 603, pelaku korupsi hanya diancam pidana minimal dua tahun, padahal di UU Pemberantasan Tipikor paling rendah empat tahun. Pun bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap cukup diancam pidana paling singkat setahun.
Bagi saya, persoalan-persoalan semacam itulah yang semestinya dibenci dan dipersoalkan. Bukan OTT KPK.(Tulisan Ini Disadur dari Medcom.id)
What's Your Reaction?